Wednesday, September 9, 2020

Sejenak Menyegarkan Diri di Umbul Senjoyo

 

Suasana salah satu kolam di Umbul Senjoyo (dokpri)

Selepas berwisata di Museum Kereta Api Ambarawa, kami memutuskan untuk menuju arah timur ke daerah Muncul, Banyubiru untuk mencari kesegaran. Mobil kami berjalan pelan melewati lekuk-lekuk pinggiran Rawa Pening melintasi hamparan persawahan sambil sesekali melihat danau alami itu dari kejauhan. Tapi begitu sampai di Pemandian Muncul, tempat tersebut ternyata masih tutup berkaitan dengan pandemi Covid 19. Pun begitu juga dengan Muncul Waterpark dan Taman Kelinci yang berlokasi tidak jauh dari situ.

Akhirnya kami memutuskan untuk menuju bagian timur Kabupaten Semarang. Memanfaatkan adanya Jalan Lingkar Salatiga (JLS), perjalanan kami terasa begitu cepat sampai di Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran. Tempat tujuan kami kali ini adalah Umbul Senjoyo, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Jalan Raya Salatiga – Solo. Kira kira hanya butuh lima menit berkendara.

Saya terakhir kali berkunjung ke Umbul Senjoyo tahun 2009. Waktu itu lokasinya masih agak sepi dan belum banyak yang tahu. Setelah agak viral di media sosial beberapa waktu lalu dengan foto kolam yang bertabur ratusan ikan, tempat ini kian berbenah dan ramai dikunjungi. Beberapa fasilitas ditingkatkan untuk menunjang kenyamanan pengunjung.

**

Matahari mulai meninggi ketika kami sampai. Parkiran mobil berada di sebuah tanah lapang agak tinggi.

 “silakan pak karcis parkirnya langsung dibayar lima ribu”

ucap tukang parkir setelah memberi aba-aba sedan tua saya menyelinap parkir diantara mobil mobil yang lebih dahulu datang.

Meski siang agak terik, namun kawasan Umbul Senjoyo yang berada ditengah rerimbunan terasa begitu sejuk. Gemericik air dan riuhnya suasana menyambut kami. Dayu – anak saya kegirangan ingin segera bermain air.

“Ayo bapak.. Dayu pingin nyemplung” ujarnya.

 

Tempat ini sepertinya sudah mulai dibuka untuk umum setelah sempat ditutup akibat pandemi Covid 19. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa setempat sebagai pengelola tampaknya sudah menyiapkan sarana-prasarana dalam rangka kebiasaan era baru (new normal) seperti menyiapkan papan papan himbauan wajib bermasker dan  menyiapkan beberapa tempat cuci tangan.


Untuk memasuki kawasan ini, sementara masih gratis, tanpa dipungut biaya. Tetapi jika ingin menikmati sensasi duduk di aliran sungai, atau bermain perosotan air untuk anak-anak, harus membayar Rp. 5.000,-.

 

Akhirnya kami memutuskan untuk segera turun sembari mencari meja kursi yang kosong untuk bersantai sejenak sembari memesan beberapa camilan dan minuman yang banyak tersedia. Sementara Dayu nyemplung untuk keceh alias bermain air. Ya, kami hendak mencoba sensasi makan dan bersantai di aliran sungai sembari momong anak.

Siang hari di Umbul Senjoyo, menikmati gorengan dan minuman hangat, sambil merendam kaki di aliran sungai yang dingin dan jernih, adalah suatu simbol ketenangan tersendiri. Pikiran terasa fresh dan tubuh terasa segar.

Untuk harga makanan yang dijajakan di kawasan Umbul Senjoyo relatif murah. Sebut saja gorengan yang dijajakan mulai dari 1000 rupiah per biji dan minuman yang beraneka ragam mulai dari kopi, teh, dan aneka minuman instan.

 

**

Adzan dhuhur terdengar, tanda kami harus segera beranjak karena ingin segera pulang. Waktu satu jam saya anggap sudah cukup untuk menikmati segarnya suasana Senjoyo. Sebelum pulang, kami sejenak mengitari kompleks ini.

Mata air Senjoyo yang berjumlah tujuh titik, menyemburkan debit air yang berlimpah. Salah satunya bahkan telah digunakan sebagai pasokan air untuk kebutuhan PDAM Kota Salatiga sejak jaman kolonial. Setidaknya ada tiga buah kolam yang bisa dimanfaatkan pengunjung. Yang dua bisa dipergunakan untuk berenang atau berendam, dan satu yang paling luas terlihat dipergunakan untuk perahu bebek dan perahu dayung.

Dekat dengan tempat makan di aliran sungai, ada salah satu tempat yang biasa digunakan warga untuk mencuci baju juga digunakan sebagai tempat bermain air untuk anak – anak. Untuk menuju ke kolam utama, kami harus melewati sebuah jembatan panjang yang juga bisa dijadikan tempat untuk berfoto.

 

Foto kolam dengan ratusan ikan yang beredar di media sosial, adalah kolam yang berada di tepi sungai. Dilengkapi juga dengan beberapa pelampung untuk berenang. Namun jumlah ikan kini tampaknya sudah jauh banyak berkurang. Sedangkan kolam utama yang sangat jernih terletak di sebaliknya. Tampak beberapa orang tampak sedang berenang dan berendam. Airnya sungguh sangat segar. Lain kali jika bawa baju ganti, ingin rasanya saya menjajal berendam sembari mencari wangsit di kolam ini.

 

Tepat berada di sebelah kolam utama, terdapat sebuah petilasan. Kawasan ini dipercaya telah ada sejak jaman Kesultanan Pajang. Dan petilasan tersebut dipercaya sebagai tempat bertapa tokoh legendaris dalam sejarah Jawa, Jaka Tingkir. 

Air kolam tampak sangat jernih dan terlihat dasarnya dari atas. Sementara sebagian tepian kolam berbahan batu andesit dan menurut informasi yang saya terima, pernah juga ditemukan beberapa relief dan antefiks khas hiasan candi. Hingga saat ini Umbul Senjoyo juga masih digunakan sebagai tempat laku praktisi supranatural untuk mencari ketenangan jiwa, salah satunya dengan mengadakan ritual kungkum atau berendam, khususnya pada malam satu Suro penanggalan Jawa.

 

**

Umbul Senjoyo, sebagai salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Semarang, dalam perjalanannya pernah direncanakan pengembangannya oleh Dinas Pariwisata yang pernah membuat maket rencana dan ditempatkan di aula Dinas Pariwisata kala itu. Namun karena mungkin kalah prioritas dibanding tempat wisata lainnya, seperti pengembangan Gedong Songo dan Bukit Cinta, maka pengembangan ini masih belum bisa terlaksana hingga saat ini.

Melihat dari fasilitas pengunjung yang tersedia di Senjoyo, tampak bahwa tempat ini masih membutuhkan sentuhan pemerintah agar lebih tertata. Seperti penataan jalan, penataan PKL, dan pentingnya pengelolaan sampah. Semoga dengan perkembangan waktu, Umbul Senjoyo dapat segera dilirik untuk mendapat prioritas pembangunan kawasan wisata.

Jadi buat kalian yang ingin menyegarkan jiwa dan raga, sejenak melepas dari kepenatan pekerjaan, Umbul Senjoyo ini sangat cocok untuk didatangi. Anda bisa sekadar bermain air, berendam, memberi makan ikan, atau melepas ikan pun dipersilakan. Tetapi pada waktu pandemi seperti ini, jangan lupa selalu patuhi himbauan pemerintah dengan memperhatikan protokol kesehatan, juga menjaga kebersihan tempat wisata.

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog "Wisata Kabupaten Semarang Di Era Adaptasi Kebiasaan Baru"

Read More..

Museum Kereta Api Ambarawa dan Jejak Sejarah Kereta Api




Salah satu koleksi Lokomotif Uap kuno yang dipamerkan di Museum Kereta Api Ambarawa (Dokpri)

Jika dibandingkan satu dekade yang lalu, ketika saya mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa, sekarang tempat ini sudah sangat banyak berbenah. Mengalami revitalisasi yang begitu mendetail selama beberapa tahun pada sekitar 2013 – 2015, sekarang salah satu tempat wisata di Ambarawa, Kabupaten Semarang ini tampak begitu cantik dan tertata rapi

Perjalanan saya sekeluarga ke Ambarawa cukup ditempuh setengah jam saja dari Ungaran. Sesampainya di pintu masuk utama, kami mendapatkan tiket parkir roda empat yang bertulis tarif Rp. 5.000,- yang harus dibayar ketika keluar nantinya. Tempat parkir yang dulu berada di dekat dengan kompleks stasiun kini berpindah di sebelah menempati tanah yang sangat lapang. Dari parkiran menuju ke loket karcis, pengunjung sudah disambut dengan deretan lokomotif uap koleksi yang kini kondisinya sangat terawat, lengkap dengan pelindung atap.

 

Fasilitas CTPS ketika masuk Museum 

“Silakan, Pak loketnya lewat sebelah sini”

Sapa petugas security dengan sopan menyambut kami selepas mencuci tangan di tempat CTPS (cuci tangan pakai sabun) yang disediakan di depan ruang loket.

“Maaf pak, kami cek suhu badannya dulu ya..”

sambung security tadi.

Tiket masuk untuk akhir pekan ini yaitu sepuluh ribu rupiah untuk dewasa dan lima ribu rupiah untuk anak anak. Konsep ruang loket pun dibangun dengan sangat modern hampir menyerupai lobi bioskop. Bahkan konsep pemeriksaan tiket pun sudah digital dengan menscan QR yang tercetak pada tiket terintegrasi dengan counter pintu masuk.

Setelah renovasi besar-besaran, tampak bahwa konsep museum ini sekarang sudah sangat matang. Ketika masuk kami menjumpai selasar panjang yang di temboknya ditampilkan informasi seputar sejarah perkeretaapian nasional, lengkap dengan infografis yang menarik, dan beberapa gambar timbul. Dari selasar tersebut kita juga bisa sekaligus melihat dan mengamati deretan lokomotif uap yang kini ditata rapi, lengkap dengan atap pelindung.

 

Setelah puas mencerna informasi tentang sejarah kereta api, kami lanjut mengunjungi inti dari musem ini. Adalah bangunan berarsitektur megah dengan detail bangunan khas era kolonial yang hingga kini masih sangat terawat. Tegel traso, dengan atap lengkung baja dan detail ornamen yang khas membuat kita menjadi terbawa suasana tempo dulu.

Saya sekilas teringat dengan sebuah cerita yang pernah saya baca dari sebuah buku tentang perjalanan seorang Belanda pada awal tahun 1900an yang mencatat kisah perjalanan dalam bukunya. Ia bercerita tentang perjalanan berkereta apinya dari Semarang pada suatu siang hari dan sampai di Stasiun Ambarawa pada sore harinya. Mengingat tidak adanya perjalanan kereta api pada malam hari, ia lalu memutuskan untuk menginap di sebuah hotel dekat dengan stasiun.

Pagi harinya, terpesonalah dia dengan keindahan alam Ambarawa yang bisa melihat gagahnya gunung Merbabu dan Telomoyo sembari mendengar desingan ketel uap yang sedang dipanaskan. Tanda bahwa kereta ke Jogjakarta akan segera berangkat.

 

Ia pun melanjutkan perjalanan kereta menanjak ke Bedono dengan lokomotif khusus bergerigi dan sampai di Jogjakarta menjelang sore harinya. Terbayang moda transportasi kereta saat itu masih sangat terbatas. Dengan hanya mengandalkan mesin uap berbahan bakar kayu dan kecepatan maksimal rata rata 35 – 40 Km / jam, adanya kereta api jelas sangat membantu mobilitas antar daerah.

**

Museum Kereta Api Ambarawa adalah salah satu saksi sejarah perkeretaapian nasional. Berawal dari tahun 1864 saat pemerintah kolonial mencanangkan pembangunan jalur kereta api dari Semarang menuju Tanggung, dan berlanjut pengembangan pada tahun – tahun berikutnya. Salah satunya adalah membuka koneksi Semarang – Jogjakarta dan membuka Stasiun Ambarawa pada Tahun 1873 dengan nama Stasiun Willem I. Ambarawa dianggap strategis oleh pemerintah kolonial karena merupakan persimpangan antara Solo – Semarang dan Jogjakarta. Selain itu, di Ambarawa saat itu juga telah terkonsep sebagai salah satu barak militer dengan Benteng Willem sehingga mobilitas pasukan ke Semarang dianggap lebih cepat menggunakan moda transportasi kereta api.

Bangunan stasiun kini digunakan sebagai kantor, dan tempat pamer beberapa koleksi, serta toilet VIP. Selain itu, di sebelah bangunan stasiun kini juga ditempat dua buah gerbong yang berfungsi sebagai klinik dan perpustakaan.

Sedikit ke arah selatan, dekat dengan rel menuju Bedono, ditempatkan beberapa bekas halte stasiun jaman dulu diantaranya adalah bekas Halte Cicayur dan Cikoya. Fasilitas mushola dan juga toilet yang bersih pun tersedia dekat dengan penempatan halte-halte tua tadi.

 

**

Selain menikmati suasana kuno stasiun, pengunjung sebenarnya juga dapat menikmati perjalanan dengan kereta tua menuju Bedono / Tuntang. Tetapi karena kondisi pandemi Covid 19, maka perjalanan kereta wisata ini untuk sementara ditiadakan. Sebagai gantinya, di lingkungan stasiun juga ada kereta wisata kecil yang bisa dimanfaatkan untuk berkeliling kompleks museum dengan membayar tiket Rp. 10.000,-.

Jika masih penasaran dengan suasana gerbong tua, pengunjung juga diperbolehkan untuk melilhat dan mengamati deretan koleksi gerbong tua yang berbahan kayu. Dengan jendela-jendela yang didesain lebar dengan mekanisme buka-tutup masih menggunakan kayu. Selain itu, juga ada sebuah gerbong yang istimewa yang boleh jadi pada masanya adalah sebuah gerbong eksekutif.

Pelataran Stasiun yang luas yang dulu digunakan sebagai area parkir kini disulap menjadi taman terbuka dengan pohon-pohon peneduh lengkap dengan tulisan besar Iam barawa yang dijadikan branding dan juga bisa digunakan sebagai latar belakang berfoto.

Puas berwisata di Museum Kereta Api Ambarawa, kami bersiap pulang melalui jalur keluar, dekat dengan turntable (meja putar) yang digunakan sebagai pemutar arah lokomotif. Jangan lupa sebelum keluar, cuci tangan dulu menggunakan sabun di tempat yang telah disediakan.

 

Jadi, buat kalian yang ingin berwisata meski dalam masa pandemi ini, dapat mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa yang buka setiap hari pukul 08.00 – 17.00 ini ya. Tentunya jangan lupa selalu mematuhi protokol kesehatan sebagaimana anjuran pemerintah.

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog "Wisata Kabupaten Semarang Di Era Kebiasaan Baru"


Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...